Dear Mama Project : Kan Kutebus peluhmu, mama.



KAN KUTEBUS PELUHMU, IBU
            Teruntuk Ibuku tercinta, Ifa Rosidah. Tujuh belas tahun sudah aku selalu merepotkan dirimu, meminta-minta sesuatu yang kau akan kesulitaan untuk membelinya. Kini aku sadar tidak ada resep makanan yang lebih enak dan tidak membosankan kecuali masakanmu. Di ujung Jawa Timur akhirnya aku sadar, betapa tidak ada sosok yang lebih berharga dalam hidu selain dirimu, ibu.
            Kemarin menjelang keberangkatanku ke kota ini kulihat kau tengah sibuk, yah kau sibuk dengan dirimu sendiri. Mempersiapkan bekal bekerjamu tiap pagi dan pulang setelah asyar. Setelah dua hari dirumah pasca regirtrasi ulang di Universitas baruku, hari itu aku akan berangkat ke Jember lagi, ibu. Dan kau masih tetap seperti biasa, sibuk dengan pekerjaanmu, berangkat pagi, pulang sore, sampai dirumah sibuk membersihkan rumah dan masak, malam hari kemudian engkau terlelap. Kulihat damai wajahmu membuat dadaku serasa sesak. Tujuh belas tahun aku bersamamu, ibu. Aku sibuk dengan diriku sendiri, memikirkan prestasi dan sekolah. Masih teringat waktu SD, aku tak sama dengan teman sebayaku. Ya, aku tak pernah mengecap rasa bangku Taman Kanak-kanak. Namun aku  rangking satu diawal semester dan berlanjut ke semester berikutnya hingga SMA. Kemampuanku menulis, membaca, melebihi teman-temanku saat itu. Lalu siapa gurunya? Engkaulah ibu. Disela kesibukan membantu bapak berjualan,kau selalu menyempatkan memberi pendidikan non formal bagi putrimu ini.  Rasanya waktu terlalu cepat, aku selalu tidak sanggup jika menghitung realistis umur manusia, sedangkan umurku tidak anak-anak lagi, itu berarti waktuku juga akan semakin sedikit untuk bersamamu, ibu. Jasa dan pengorbananmu tiada terhitung jumlahnya.
            Jiwamu yang tak pernah lelah, sampai hari ini aku telah beranjak dewasa dan siap untuk pergi mencari ilmu di kota yang jauh. Aku tidak pernah lupa dengan peristiwa 3 tahun silam. Saat keadaan ekonomi keluarga kecil kita sedang diuji oleh Allah, ibu. Waktu itu bapak sedang sakit-sakitan, sedangkan adik baru berusia dua tahun. Kau tidak pernah lelah menemani hari-hari bapak yang penuh kesakitan dan kebosanan menjalani hidup. Saat itu pula aku baru lulus dari bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setingkat SMP. Bahkan aku harus rela melepaskan impianku untuk bersekolah di salah satu SMA Favorit di kota kelahiranku. Bisa melanjutkan sekolah SMA walaupun bukan favorit sudah merupakan keberuntungan yang luar biasa bagi diriku saat ibu. Apakah engkau ingat ibu? Waktu-waktu itu engkau harus rela meninggalkan adik dan bekerja di salah satu pabrik roti, memikirkan biaya masuk SMA yang tentunya tidak sedikit ditambah pengobatan bapak yang saat itu masih harus sering kontrol ke rumah sakit. Aku selalu tidak bisa membendung air mata jika teringat saat-saat buruk itu.
            Diwaktu liburan menunggu masa orientasi siswa aku merawat adik yang saat itu masih kecil, ibu. Adik yang harus menjadi korban. Tiap siang aku harus menidurkan ia agar saat malam tidak rewel karena kurang tidur. Umurku yang masih labil dan hanya memikirkan pendidikan membuat cara menidurkan adik sangat kejam menurutku. Engkau mungkin tidak akan pernah tau ini, aku menidurkanya dengan menakut-nakuti hantu, sehingga tiap menjelang tidur ia selalu menangis seperti orang ketakutan yang kalau aku mengingat perbuatanku saat itu rasanya aku ingin menikam hatiku sendiri. Dan kejinya, hal itu kulakukan kurang lebih tiga minggu menunggu sekolah masuk.  Aku benci dengan diriku sendiri. Sepulang bekerja dari pabrik roti, engkau tak lupa menyiapkan makanan, membersihkan rumah dan merawat kami keluarga.
            Waktu semakin berlalu, egoku untuk selalu menjadi nomor satu dikelas menancap erat sejak kecil. Aku hanya memikirkan sekolah, sekolah dan sekolah. Dirumahpun aku tidak pernah istirahat dengan mementingkan organisasi, organisasi, dan  organisasi. Aku tidak pernah membantu pekerjaan rumah, tiap kau suruh selalu beralasan jika PR sekolah banyak. Aku menyesal.
            Menjelang lulus dari SMA dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, sepertinya Tuhan semakin menampakkan keistimewaanmu ibu. Doamu, ridhomu, dan keikhlasanmu sangat berarti pada tiap langkah yang kuambil. Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) adalah ciri pertama yang ditunjukkan Tuhan untukku, ya aku gagal dalam seleksi itu. Sebelumnya kau telah memperingatkan bahwa aku lebih baik mengambil jurusan yang biasa-biasa saja namun juga tak terlalu rendah. Namun aku durhaka, aku memilih pergutuan tinggi nomor satu di Indonesia dan jurusan yang lumayan tinggi bagiku. Hasilnya NIHIL. Ketidakpatuhanku juga berlanjut saat tes lewat jalur mandiri di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Waktu itu kau mungkin tidak punya uang, namun aku memaksa untuk tetap ikut tes itu engan biaya pendaftaran kurang lebih Rp 175.00,- seingatku, belum lagi biaya transport yang pasti lebih banyak dari itu. Dan uang demikian sangat berarti dalam keluarga kita, ibu. Betapa bodohnya aku yang saat itu susah-susah meminjam uang ke teman dan engkau mengetahuinya. Kau selalu mengajari ku agar jangan sampai mempunyai hutang kepada teman, tapi hari itu aku melanggarnya. Dan mau tidak mau, hari itu pula engkau yang melunasi. Ibu, maafkan aku.
            Sekarang dikota ini, kota Jember. Aku bermain dengan kerinduan padamu ibu. Aku tidak bisa jika dua hari lebih tak mendengar suaramu, masih ku ingat kemarin tiga hari aku tidak memberi kabar karena sibuknya aku dengan laporan-laporan praktikum, kau begitu cemas. Lagi-lagi yang hanya bisa ku ucapkan “Maafkan aku, ibu”. Walaupun kau masih dengan kesibukanmu bekerja pagi-pulang sore di salah satu pabrik, kau tak pernah lelah menghubungiku hanya untuk sekedar mengingatkan makan. Tapi jarak membuatku mengerti ibu, bahwa berada disampingmu adalah momen yang tidak dapat dibeli. Ku hitung-hitung hari menjelang kepulangan ke kota Kediri, menanti bertemu dikau sang malaikat tanpa sayap. Menanti kelahiran adik keduaku. Kau adalah wanita yang hebat, setia pada bapak yang walaupun kini pekerjaan beliau tidak tetap, tetapi engkau selau bersama beliau. Bekerja keras bertahun-tahun dan tetap rajin dalam ibadah, kau adalah cahaya yang tidak akan padam. Kadang aku ingin engkau berhenti bekerja ibu, supaya engkau dapat istirahat di rumah layaknya ibu-ibu pada umumnya. Tidur dengan nyaman siang hari dan tidak sepayah saat ini. Suatu saat nanti aku akan memberikan hadiah yang semoga membuatmu bahagia, ingin kutebus peluhmu yang bekerja pagi-sore, ibu. Namun, sebanyak apapun usaha dan keringat tak akan bisa menebus setetespun air susu yang kau berikan untukku. Hanya doa yang dapat kuberikan.
            Sore ini, di gerimis kota Jember nan rindang aku selipkan doa bersama air hujan yang menetes di bumi Tuhan. Aku baru menyadari, sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa engkau ibu. Kau adalah koki terbaik, dokter terbaik, perawat terbaik, motivator terbaik, kau adalah malaikat.  Aku selalu takut  jika menantikan waktu itu, waktu dimana engkau akan pergi meninggalkan sosok aku yang kau kandung dan kau perhatikan selama tujuh belas tahun lamanya. Tapi waktu itu pasti akan terjadi. Jika boleh memilih aku ingin kembali kepada Ilahi terlebih dahulu agar tidak tau rasanya kehilangan engkau, ibu. Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al Husna, Pesantren Impian

Si Gendut dari Banyuwangi

ALLAH AKAN MEMEBALAS SETIAP KECIL KEBAIKAN KITA, KUNCINYA NIAT!!